Cinta dan benci mungkin adalah
saudara kandung, ketika terlalu cinta semua nampak sempurna dan mungkin
dipaksakan untuk sempurna, dan ketika kesempurnaan tercoreng segaris saja
kekurangan, entah lenyap kemana kesempurnaan itu. Dan berbaliklah rasa cinta
menjadi benci, karena mungkin dari awal benci itu dibungkus sedemikian rupa
dengan kesempurnaan yang dipaksakan. Lucu juga, pengorbanan demi cinta, padahal
kita sama-sama tak tau cinta itu seperti apa bentuknya, meski dapat dirasa apa
benar begitu adanya??? Ahh . . . malam semakin kelam karena mendung, pekikan
dari sebelah meramaikan kesunyian, lewati malam ini bersama domino dan kopi,
nampaknya mereka lebih akrab dengan cinta, haruskah aku berguru pada mereka??? Ahh
. . . semakin ngawur tulisan ini, layaknya hidupku yang sering kupersulit
sendiri, layaknya birokrasi negeriku ini, alurnya tak kalah panjang sama kereta
logawa, ahh . . . itu bukan salah negeriku, karena ia layaknya sebuah kendaraan
yang akan nurut saja kemanapun supirnya mengarahkannya, jadi, supir-supir
negara itukah biang-biang bencananya? Janganlah dulu hakimi mereka, karena
mungkin mereka lagi asyik bermesraan dengan iblis penuh durja, biar dulu mereka
nikmati secuil nikmat dunia, toh akhirnya mereka dilumat juga di neraka. Inikah
bentuk cintaku pada negeriku akupun masih ragu, lantaran aku belum juga
memberimu sesuatu.
Aku bukan benci pada mereka yang
selalu bersama, namun cinta itu belum datang saja, mungkin masih terhalang
sekat di depan mata. Aku hanya tak ingin cita-cita digorok mati saat belum
tercipta, baiknya aku saja yang mati kala kejar cita-cita dibandingkan aku yang harus melihat cita-cita yang mati
karena arah jalan yang dipaksa. Masih terjaga di malam ini, kadang rasa iri
juga bersanding dekat diri, entah mengapa? Tiada dasar yang kuat tuk benarkan
semua itu, mungkin Cuma pelampiasan karena tujuan belum mampu kugenggam,
berarti picik sekali pikiran ini, ego besar maunya untung sendiri.
Entah mengalir kemana goresan
penaku ini, asalkan jangan ikuti hakekat air saja, yang mengalir kebawah . . .
kebawah . . . dan makin kebawah hingga akhirnya hilang dimakan lautan. Aku hanya
mau kurangi beban di tengkorak, yang tiap detik umurnya berkurang, bisa jadi
ini bualan belaka, namun nyatanya inilah isi kepala. Terima atau tak terima aku
tak pernah meminta, suka atau tak suka aku tak akan memaksa, bila berguna kubisa
ucap Alhamdulillah, bila tak ada guna cukuplah berikanku lelah.
Tak sepandai Chairil Anwar
kurangkai kata-kata, tak secerdas Taufik Ismail kusisipkan dalamnya makna dalam
sajak tulisan, namun seenggak-enggaknya ku tlah berbuat agar tak berakhir jadi
pecundang tanpa gelar, ini gelar bukan sembarang gelar, bukan gelar yang
tercetak di atas selembar kertas, namun gelarku benar-benar kuukir dalam hati,
aku cintai, dan kubawa mati.
Dasar sudah gila, tapi biarlah
karena ini pilihanku yang memeng gila, bergelut dengan cinta, yang entah kemana
bermuara. Entah darimana datangnya, kata-kata ini berjatuhan begitu saja,
kuhanya coba mengabadikannya agar diwarisi anak cucu kita nantinya. Tolong . .
. bila tak suka jangan teruskan membaca, bila tak tertarik berhentilah melirik,
karena ini hanya kata-kata pujangga yang lagi gila.
Nyamuk mendenging dekat kupingku,
coba ciumi dan berbisik . . . kau manusia, malam begini lagi apa? Yang lain
terlelap kau tetap terjaga. Sana!!! Lekas baringkan tubuhmu, mulai sambut
mimpi-mimpi yang dari tadi menanti, lepaskan jiwa dari raga, simbolkan hidup
ini tak selamanya. Jadi, sudah “Cintakah kita . . .?” akan aku cari warta dalam
perjalanan mimpi nanti.
Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komen yang sopan lebih di utamakan!!!