Senin, 18 Februari 2013

Cintakah Kita . . .?

Cinta dan benci mungkin adalah saudara kandung, ketika terlalu cinta semua nampak sempurna dan mungkin dipaksakan untuk sempurna, dan ketika kesempurnaan tercoreng segaris saja kekurangan, entah lenyap kemana kesempurnaan itu. Dan berbaliklah rasa cinta menjadi benci, karena mungkin dari awal benci itu dibungkus sedemikian rupa dengan kesempurnaan yang dipaksakan. Lucu juga, pengorbanan demi cinta, padahal kita sama-sama tak tau cinta itu seperti apa bentuknya, meski dapat dirasa apa benar begitu adanya??? Ahh . . . malam semakin kelam karena mendung, pekikan dari sebelah meramaikan kesunyian, lewati malam ini bersama domino dan kopi, nampaknya mereka lebih akrab dengan cinta, haruskah aku berguru pada mereka??? Ahh . . . semakin ngawur tulisan ini, layaknya hidupku yang sering kupersulit sendiri, layaknya birokrasi negeriku ini, alurnya tak kalah panjang sama kereta logawa, ahh . . . itu bukan salah negeriku, karena ia layaknya sebuah kendaraan yang akan nurut saja kemanapun supirnya mengarahkannya, jadi, supir-supir negara itukah biang-biang bencananya? Janganlah dulu hakimi mereka, karena mungkin mereka lagi asyik bermesraan dengan iblis penuh durja, biar dulu mereka nikmati secuil nikmat dunia, toh akhirnya mereka dilumat juga di neraka. Inikah bentuk cintaku pada negeriku akupun masih ragu, lantaran aku belum juga memberimu sesuatu.
Aku bukan benci pada mereka yang selalu bersama, namun cinta itu belum datang saja, mungkin masih terhalang sekat di depan mata. Aku hanya tak ingin cita-cita digorok mati saat belum tercipta, baiknya aku saja yang mati kala kejar cita-cita dibandingkan  aku yang harus melihat cita-cita yang mati karena arah jalan yang dipaksa. Masih terjaga di malam ini, kadang rasa iri juga bersanding dekat diri, entah mengapa? Tiada dasar yang kuat tuk benarkan semua itu, mungkin Cuma pelampiasan karena tujuan belum mampu kugenggam, berarti picik sekali pikiran ini, ego besar maunya untung sendiri.
Entah mengalir kemana goresan penaku ini, asalkan jangan ikuti hakekat air saja, yang mengalir kebawah . . . kebawah . . . dan makin kebawah hingga akhirnya hilang dimakan lautan. Aku hanya mau kurangi beban di tengkorak, yang tiap detik umurnya berkurang, bisa jadi ini bualan belaka, namun nyatanya inilah isi kepala. Terima atau tak terima aku tak pernah meminta, suka atau tak suka aku tak akan memaksa, bila berguna kubisa ucap Alhamdulillah, bila tak ada guna cukuplah berikanku lelah.
Tak sepandai Chairil Anwar kurangkai kata-kata, tak secerdas Taufik Ismail kusisipkan dalamnya makna dalam sajak tulisan, namun seenggak-enggaknya ku tlah berbuat agar tak berakhir jadi pecundang tanpa gelar, ini gelar bukan sembarang gelar, bukan gelar yang tercetak di atas selembar kertas, namun gelarku benar-benar kuukir dalam hati, aku cintai, dan kubawa mati.
Dasar sudah gila, tapi biarlah karena ini pilihanku yang memeng gila, bergelut dengan cinta, yang entah kemana bermuara. Entah darimana datangnya, kata-kata ini berjatuhan begitu saja, kuhanya coba mengabadikannya agar diwarisi anak cucu kita nantinya. Tolong . . . bila tak suka jangan teruskan membaca, bila tak tertarik berhentilah melirik, karena ini hanya kata-kata pujangga yang lagi gila.
Nyamuk mendenging dekat kupingku, coba ciumi dan berbisik . . . kau manusia, malam begini lagi apa? Yang lain terlelap kau tetap terjaga. Sana!!! Lekas baringkan tubuhmu, mulai sambut mimpi-mimpi yang dari tadi menanti, lepaskan jiwa dari raga, simbolkan hidup ini tak selamanya. Jadi, sudah “Cintakah kita . . .?” akan aku cari warta dalam perjalanan mimpi nanti.

Bersambung . . .